Search Programs and Files

Aneka Batik Tulis Tulungagung

Aneka Batik Tulis Tulungagung

Jumat, 06 Agustus 2010

Sejarah Teknik Batik

Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.[2]. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an. Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7.Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.[5] Oleh beberapa penafsir,serasah itu ditafsirkan sebagai batik. Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman. Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.

Indonesian Batik

Description Indonesian Batik ©2008 by Batik Museum Institute, Pekalongan The techniques, symbolism and culture surrounding hand-dyed cotton and silk garments known as Indonesian Batik permeate the lives of Indonesians from beginning to end: infants are carried in batik slings decorated with symbols designed to bring the child luck, and the dead are shrouded in funerary batik. Clothes with everyday designs are worn regularly in business and academic settings, while special varieties are incorporated into celebrations of marriage and pregnancy and into puppet theatre and other art forms. The garments even play the central role in certain rituals, such as the ceremonial casting of royal batik into a volcano. Batik is dyed by proud craftspeople who draw designs on fabric using dots and lines of hot wax, which resists vegetable and other dyes and therefore allows the artisan to colour selectively by soaking the cloth in one colour, removing the wax with boiling water and repeating if multiple colours are desired. The wide diversity of patterns reflects a variety of influences, ranging from Arabic calligraphy, European bouquets and Chinese phoenixes to Japanese cherry blossoms and Indian or Persian peacocks. Often handed down within families for generations, the craft of batik is intertwined with the cultural identity of the Indonesian people and, through the symbolic meanings of its colours and designs, expresses their creativity and spirituality. Documents * Nomination form: English|French * Consent of communities: English Decision 4.COM 13.44 The Committee decides that satisfies the criteria for inscription on the Urgent Safeguarding List, as follows: * R1: Indonesian Batik has a rich symbolism related to social status, local community, nature, history and cultural heritage; provides Indonesian people with a sense of identity and continuity as an essential component of their life from birth to death; and continues to evolve without losing its traditional meaning; * R2: Inscription on the Representative List would contribute to ensuring the visibility of intangible cultural heritage at the local, national and international levels, raising awareness about its value and motivating practitioners, in particular younger generations, to continue its practice; * R3: Various actors such as governmental and non-governmental institutions and community-based associations have jointly carried out safeguarding measures including awareness-raising, capacity-building and educational activities, and intend to continue these efforts; * R4: The communities concerned were widely involved in the nomination process through field research in the communities; they also participated in the file preparation team and in a series of seminars to discuss the file contents, and provided their free, prior and informed consent; * R5: The element is inscribed on the inventory of cultural elements maintained by the Department of Culture and Tourism.

Rabu, 04 Agustus 2010

Eksiskan Batik Lokal

Niat Eksiskan Batik Lokal Batik karya Sigit Suseno, warga Sendang, semakin dikenal masyarakat. Bahkan pada 12 Mei 2010 kemarin, dia berhasil menyabet juara tiga dalam lomba Batik Se-Jawa Timur, yang diadakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim. Bagaimana kiat dia bisa meraih juara dalam lomba tingkat regional ini? Mencari rumah Sigit Suseno tak begitu sulit, hampir semua orang di wilayah Desa Sendang tahu. Rumah yang berada di pinggir jalan menuju Pesanggrahan Argo Wilis itu sangat sejuk, karena pemiliknya sangat suka menanam aneka tanaman dan bunga. Pria ini juga suka memelihara burung sehingga menambah suasana rumah asri dan sejuk. Letak rumah yang bergapura etnik ini lebih tinggi daripada rumah di sampingnya. Jika diamati dengan detail, mulai dari undakan hingga pintu-pintu di rumah Sigit-panggilan akrabnya, tergores tatahan etnik yang membentuk ukiran rumit. Ditemui di rumahnya, Sigit sedang membatik pesanan dari Kediri. Berbagai motif batik mulai yang lawas hingga modern ada di bengkel batik Sigit. Berbagai aktivitas dilakukan Sigit bersama empat karyawannya. Di sela-sela bekerja, dia menceritakan kiat keberhasilan meraih juara tiga dalam lomba batik pada12 Mei lalu di Gramedia Expo Surabaya. Lomba itu bertema Batik Jawa Timur sebagai Pelestari Budaya, Seni, Serta Penggerak Industri Kecil. “Saya sungguh bersyukur dan tidak menyangka bisa mendapat juara,” ungkap pria yang berdomisili di Jalan Argowilis, Desa Sendang, Kecamatan Sendang, Tulungagung ini. Bagaimana tidak, awalnya pada 26 April ia mengirimkan karyanya lewat Disperindag Tulungagung. Niatnya waktu itu, sekadar membawa nama batik Tulungagung secara regional, supaya orang mengakui eksistensi dari batik Tulungagung. “Saya ingin membuktikan bahwa Tulungagung itu memiliki batik yang khas, kaya akan corak, dan hingga saat ini tetap eksis,” tuturnya. Apalagi tak hanya menjadi tiga besar, ia yang kala itu mengirim dua batik dengan judul Padmaning Paksi Hurubing Nagari (PPHN) dan Padma Hamanunggal Paksi (PHP), dua—duanya difavoritkan oleh juri. “Yang juara tiga adalah batik PPHN. Namun Juri ternyata juga memilih batik saya yang PHP untuk menjadi 10 besar favorit pilihan juri,” ucapnya bangga. PPHN dan PHP terdiri dari corak batik utama, terdiri dari bunga teratai dan ayam bekisar sebagai simbol Pemerintahan Jawa Timur. Untuk PPHN, ia memberi sentuhan lima warna dasar, yaitu merah, hijau, hijau kekuningan, coklat soga Jawa, hitam, putih. Pada intinya, kelima warna yang menjadi dasar dari bentuk teratai maupun ayam bekisar, memiliki makna bahwa bunga-bunga dan burung-burung hidup tumbuh dan berkembang maka negara akan bersemangat membangun bangsa. Menurut Sigit, paduan corak dan keunikan batik, serta kelengkapan bahan presentasi adalah yang menjadi kunci utama dirinya menang. “Tekstur gambar, pewarnaan, dan handout presentasi saya diakui baik oleh juri,” tambah putra bungsu empat bersaudara dari pasangan Sri Mujati dan almarhum Iskandar ini. Apalagi, jika flash back ke usahanya yang membuat dirinya menang, ternyata Sigit membuat batik ini dengan susah payah. Proses pembuatan batik tulis ini tidak gampang. “Waktunya hanya dua minggu. Saya buat siang malam” ungkapnya. Misalnya untuk batik PPHN, ia melakukan 16 langkah rumit untuk menjadikannya batik yang dapat dijadikan bahan busana kerja maupun pakaian resmi ini. Yang pertama adalah kain katun direbus, berikutnya direndam, lalu dicuci atau dilakukan pengetelan. Baru jika sudah selesai mengetel, kain diberi gambar pola dengan pensil. Seusai itu, dia melakukan pencantingan dengan teknik batik tulis (klowongan). Tak berhenti sampai situ, lalu ia memberi isen-isen batik dan melakukan proses pencoletan warna. Setelah pencoletan warna, ia menutup warna hasil coletan. Langkah berikutnya, ia melakukan pencelupan warna secara keseluruhan (celupan wedelan), perebusan atau pelodoran lilin dicuci hingga bersih. Setelah itu menjemur kain tersebut di tempat yang teduh. Berikutnya menutup hasil coletan kembali dengan malam. Lanjut dengan pencelupan warna sogan. Kembali lagi melakukan pelodoran atau menghilangkan lilin. Berikutnya melakukan pencucian hingga bersih, memberi kanji, daun nilam dan daun pandan. “Terakhir adalah finishing,” tuturnya mantap. Setelah puas menceritakan kiatnya menjadi juara, pria single ini meromantisir kiprah awal ia membatik yang akhirnya membawa ia sukses seperti yang didapatnya sekarang. Ternyata, menjadi seniman serta peng­usaha batik sama sekali tidak ia rencanakan. Pasalnya, Sigit yang lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Malang di jurusan manajemen keuangan, ini sempat menjadi seorang dosen di Malang. Selain menjadi dosen, ia juga malang melintang di dunia perbankan meski tidak lama. “Pada saat lulus kuliah 1996, saya bekerja di Malang. Hingga sekitar tahun 2004, almarhum ayah saya menghendaki saya pulang ke Tulungagung,” ungkapnya. Pada saat itu, ia melanjutkan ceritanya, kebingungan sangat melanda dirinya. Pasalnya, ia sempat berpikir akan menganggur dalam waktu yang lama. “Saya sempat stress. Apakah harus menganggur. Padahal, saya tidak ingin meminta uang orang tua lagi,” ungkapnya. Lalu, almarhum ayah Sigit meminta dia untuk melanjutkan kemampuannya membatik. “Saat saya pusing skripsi, saya mencoba menghibur diri. Waktu jalan-jalan di toko buku, saya tidak membeli buku untuk literatur skripsi. Malahan membelli buku kecil dengan judul, teknik membatik. Untung saya membeli buku itu, paling tidak buat bekal untuk membuat impian ayah saya tercapai,” tambahnya lantas tertawa. Berikutnya, setelah ia mencoba untuk mengaplikasikan buku teknik membatik tersebut, ternyata hasilnya memuaskan. Meski harus mencoba berulang-ulang untuk mendapatkan hasil yang maksimal. “Mencoba untuk maksimal kan tidak masalah. Namun pada akhirnya saya jadi tahu bagaimana pewarnaan batik dan sebagainya,” ucapnya. Kini, di rumahnya, ia memaksimalkan dedaunan dan berbagai bunga yang ditanamnya untuk dijadikan perwarna alami batik tulisnya. “Saya sedapat mungkin memaksimalkan bahan-bahan alami yang tidak pernah terpikirkan oleh orang. Seperti daun jamu, lotus, dan sebagainya. Karena pada hakekatnya, pewarna alami akan membuat batik tulis tampil lebih elegan dan glamour. Justru banyak para pejabat yang lebih berminat warna batik yang simpel namun dengan corak yang detil,” pungkasnya.